Rabu, 04 Januari 2012

Kebangkitan itu tentang,hari ini dan besok

Bismillah…

Sudah menjadi statement yang begitu populer, bahwa islam solusi semua masalah. Ya,memang begitu adanya. Hingga sering kita berucap,termasuk saya, apa pun masalahnya maka islam solusinya. Karena itu merupakan realisasi dari islam rahmatan lil ‘alamien. Tak ada yang bisa menyangkal ini.

Belum lagi kita menyebut islam sebagai dien. Yakni sebagai the way of life,bukan sekedar ajaran langit yang mengajarkan kita ibadah ritualitas. Kita memahami ini, bahkan sangat-sangat mengerti. Hingga sekarang dominan ide-ide membawa islam ke pasar-pasar,ke gedung DPR, ke Istana Negara,ke kampus-kampus bahkan sampai ke jalan-jalan. Dan lagi, ini menguatkan bahwa islam sebagai solusi semua masalah yang ada. Tak ada yang bisa menyangkal ini.

Semakin banyak masalah yang dikandung suatu negeri,maka berbanding searah pula dengan tingkat depresi masyarakatnya. Masalah yang ada,semakin membuat mabuk masyarakat,membuatnya gerah dan akhirnya mencari solusi,walau kadang dengan terpaksa. Inilah sisi manusiawi dari kebangkitan. Kadang kebangkitan tidak lahir dari pemahaman,namun malah dipaksa lahir lewat “operasi Caesar” seperti ini. Untungnya, lewat celah sejarah seperti ini, islam datang dengan tawaran sebagai solusi semua masalah. Tingkat “kegalauan” masyarakat yang tinggi -maupun direkayasa supaya galau-,kemudian bertemu dengan kaidah “islam solusi semua masalah”, inilah yang kadang merangsang terjadinya kebangkitan.

Mungkin logika di atas cuma generalisasi,namun fakta sejarah hampir semuanya berbisik seperti itu. Walau pun masih belum bisa dikategorikan sebagai,kebangkitan islam. Namun punya kaidah yang sama. Yakni, ketidaknyamanan yang membuat kebangkitan itu muncul. Dan, di tengah kegalauan lahirnya kebangkitan itu,akan muncul semangat akan kebangkitan ini “segera” terjadi,inilah yang nantinya disebut sebagai revolusi. Ya, revolusi. Sebenarnya mirip dengan evolusi. Namun ada yang membedakannya,yaitu seberapa lama proses “membangkitkannya”. Kalau mau segera,disebut revolusi. Namun ada konsekuensi,yakni ketidaksiapan full system praktis dan eksekutornya. Juga cenderung menghasilkan masa awal yang sangat tidak stabil. Seperti konsep alergi jadinya, “ antigen yang muncul tiba-tiba akan mengundang antibody-antibodi untuk bereaksi,karena belum terbiasa,lalu muncullah gatal”. Kalau mau menunggu, disebut evolusi. Memang akan menghasilkan kebangkitan yang mapan dan cenderung stabil, namun perlu waktu,nah itu masalahnya.

Sampai di sini,kita sudah mempertemuakan konsep,bahwa masalah yang dimiliki masyarakat akan membuat galau. Di tengah kegalauannya,masyarakat perlu solusi. Solusi semua system pernah mewarnai Indonesia, kapitalis-secularism dan sosialis-komunism,namun terbukti kegagalannya. Sekarang bergeliat “islam solusi semua masalah”. Ya, semua sepakat,ketika dibahas dalam persfektif keimanan. Karena itu tuntutan keimanan. Namun mungkin akan muncul keraguan ketika berbicara dalam perspektif lain,yakni persfektif rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Karena fakta sekarang malah Negara-negara eropa dan amerika yang terlihat mapan. Ya,walau pun Cuma “terlihat”. Di sini juga terkuak letak manusiawinya masyarakat kita,bahwa mereka percaya pada hal-hal yang terbukti “saat ini”. Mungkin kalimat tadi adalah bahasa halus dari,pragmatisme. Sehingga, masyarakat kita memang “menerima ide” islam solusi semua masalah,namun tidak mengamalkan islam itu sendiri. Karena sampai saat ini,belum ada bukti “riil dan praktis” tentang konsep islam menyelesaikan masalah.

Ya,belum ada bukti “riil dan praktis” saat ini yang betul-betul nyata. Atau mungkin juga,sudah ada bukti,namun itu belum diekspose dan diketahui masyarakat.

Ada sebuah pertanyaan lucu,ketika seseorang bertanya kepada seorang ustadz. “ustadz, apa solusi islam terhadap krisis ekonomi yang melanda kita ?” –ini pertanyaan sekitar tahun 90-an-. Lalu ustadz berkata, “solusinya ya, sabar dan ikhlas menerimanya”. Memang agak sedikit lucu jawaban ini. Namun, ini jawaban yang benar adanya. Memuaskan dalam perspektif keimanan,namun cukup lucu jika kita lihat dari perspektif rasionalitas dan ilmu pengetahuan… seakan-akan islam tidak memberikan solusi riil dan praktis. Atau juga,kelucuannya terletak pada minimnya pemahaman ustadz tersebut terhadap islam praktis.

Saya pun pernah sedikit tersentak . Saat dapat kuliah marasmus.kwashiorkor dan defisiensi vit A,yang merupakan penyakit-penyakit kekurangan gizi. Ya,saya sadar yang memberikan kuliah dulu seorang kandidat doktor, dalam kajian khusus ilmu gizi. Ketersinggungan itu muncul ketika di sesi diskusi,beliau bilang “mana solusi islam” terhadap kekurangan gizi di Indonesia. Sambil tersenyum selalu mengulang-ulang “mana solusi islam”,lalu bilang “apa itu cuma jargon”…

Jangan putus membaca sampai di sini,karena keseluruhan ide belum tersampaikan.

Kadang,dari hal-hal lucu di atas itu pula. Ada muncul teori yang cukup kontroversial,yakni tentang strategi Negara islam. “bahwa ketika kondisi seperti ini,islam masih dalam tataran ide dan konsep filosofis. Dan kurangnya tenaga professional dan eksekutor dalam menjalankan islam praktis. Maka memberikan embel Negara islam malah akan memberikan kemudharatan bagi islam sendiri. Katanya, islam akan dipermalukan sendiri oleh orang-orang islam yang belum mampu menafsirkan islam menjadi langkah kerja dan karya. Orang-orang islam belum mampu menafsirkan ajaran-ajaran islam menjadi konsep praktis di lapangan. Sehingga kesimpulannya,mari bekerja dengan konsep islam yang dipelajari dan sambil dikembangkan. Terus bekerja merealisasikan nilai-nilai dan ajaran islam, sampai titik yang dirasa mapan,baru dideklarasikan sebagai Negara islam”… sejenak saya berpikir, mungkin ini juga,yang menginspirasi Syafi’i Maarif tentang konsep “garam dan gincu”.

Namun,sebagai seorang muslim,pasti merindukan adanya Negara yang berlandaskan pada ajaran-ajaran islam. Karena memang benar, “islam solusi semua masalah”. Sudah terbukti oleh sejarah, tinggal melakukan kajian terus-menerus tentang islam praktis dan melakukan “timing” kapan waktu yang tepat “meng-eksposenya”, tentunya saat kemampuan dan kapasitas “keislaman kita” sudah betul-betul mampu mengemban embel “Negara islam”.

Yang perlu kita lakukan sebagai mahasiswa adalah, bagaimana menafsirkan ajaran islam ke dalam spesialisasi keilmuan kita,agar kita betul-betul secara riil membuktikan bahwa “islam solusi semua masalah”. Ya, dengan bukti,bukan sekedar propaganda.

Karena kebangkitan islam bukan saat kita “mengingat-ingat kemenangan dulu”, saat kita bilang bahwa “dulu”, khawarizmi menemukan angka nol, ibnu sina sebagai ahli kedokteran, ibnu al-haytsami sebagai ahli optic, ibnul qosim al-zahrawi sebagai ahli bedah, ibnu khaldun sebagai pemikir ekonomi public, dan lain-lain. Karena itu hanya tentang “waktu dulu”,tanpa maksud untuk meremehkan kontribusinya dulu. Hanya untuk menekankan, kebangkitan itu bicara tentang “hari ini dan besok”, lalu membahas islamisasi sains dan teknologi. Sebagai anak kedokteran, kita akan bicara tentang “siapa dokter muslim yang menjadi ahli bedah kromosom, seorang ahli pemetaan genetic dan siapa ahli bedah mikrovaskular”. Ya,lagi-lagi, kebangkitan itu tentang “hari ini dan besok”….

Solusinya, tak ada pilihan lain,selain membentuk mahasiswa berbasis pada kepakaran dan spesialisasi ilmu. Ini merupakan pengejewantahan tentang trias mahasiswa,yakni sebagai the iron stock, the agent of chance dan moral force…. Dan yang pasti, al-qur’an dan sunnah menjadi mind-set dasar dia berpikir dan bertindak, serta syariat menjadi petanya.

Ya, tentang kepakaran dan spesialisasi ilmu, agar kita tidak gagap menafsirkan al-qur’an hingga menjadi program kerja praktis dan karya riil. Karena itu yang menjadi bukti…

Maka,kita bergerak agar negeri ini diatur oleh ajaran-Nya --tentu dengan cara yang prosedural dan sesuai hukum positif-- ,saat itu kita menyiapkan kepakaran dan spesialisasi ilmu kita. Dan pada “titik yang telah dijanjikan”, kita akan maju memimpin negeri ini, dengan percaya diri. Saat itu pula kami berteriak, “inilah Negara islam itu !”